PANGKALPINANG, Harianwartanews.com — Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, menegaskan sikap lembaganya yang berpihak penuh terhadap masyarakat Desa Batu Betumpang, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, yang menolak keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di wilayah mereka.
Pernyataan tegas itu disampaikan Didit saat memimpin audiensi bersama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Babel serta perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Batu Betumpang, terkait penertiban kawasan hutan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), bertempat di Ruang Banmus DPRD Babel, Senin (04/08/2025).
“DPRD Babel berdiri di depan, bersama masyarakat Batu Betumpang. Kehadiran HTI tidak boleh mengorbankan hak-hak rakyat yang telah turun-temurun hidup di wilayah itu. Ini bukan soal kebijakan kehutanan semata, ini soal keadilan,” tegas Didit Srigusjaya.
Didit menilai, masuknya HTI di wilayah tersebut berpotensi merampas ruang hidup masyarakat adat, petani sawit rakyat, serta mempersempit lahan usaha tani produktif.
”Kami tidak akan tinggal diam bila rakyat dirugikan. Jangan ada dalih legalitas izin HTI, kalau pada praktiknya membuat rakyat terusir dari tanahnya sendiri,” lanjut Didit.
Dalam forum tersebut, ia juga mendorong Pemprov Babel untuk segera mengevaluasi izin-izin usaha kehutanan yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan tidak memberikan dampak ekonomi langsung kepada desa.
Didit juga meminta Satgas PKH transparan dan tidak tebang pilih dalam penertiban kawasan, serta tidak hanya menyasar petani kecil, sementara korporasi besar dibiarkan bebas.
DPRD Babel memastikan akan mengawal aspirasi dan perlindungan hukum masyarakat Desa Batu Betumpang, serta menolak segala bentuk perampasan lahan berkedok investasi kehutanan.
Sementara itu penolakan tidak hanya datang dari lembaga resmi, tetapi juga disuarakan langsung oleh warga Desa Batu Betumpang yang hadir dalam audiensi.
Salah satu perwakilan masyarakat menyampaikan kondisi psikologis warga yang kian tertekan akibat masuknya Hutan Tanaman Industri (HTI) di wilayah mereka.
“Kami ini ibarat tidur di atas bara api. Setiap hari was-was, takut kehilangan tanah yang sudah kami kelola puluhan tahun. Ini bukan hanya soal lahan, ini soal hidup kami.” kata Jailani.
Warga menuding aktivitas HTI berlangsung tanpa kejelasan hukum, bahkan sebelum adanya keputusan final terkait status kawasan.
Mereka menilai tindakan tersebut ilegal dan meminta aparat penegak hukum untuk tidak hanya menyasar rakyat kecil.
“Kalau hukum ditegakkan, tegakkan juga kepada yang besar. Jangan hanya kejar petani kecil. Kalau perlu, kami pertahankan tanah kami sampai titik darah penghabisan,” tandasnya.
Masyarakat juga meminta agar DPRD dan pemerintah daerah benar-benar berpihak, tidak hanya mendengar tetapi juga mengambil langkah nyata untuk menghentikan aktivitas HTI dan mengembalikan hak masyarakat atas lahan garapan.
(DPRD Babel)